Pertemuan
17.37 |
Jembatan
17.33 |
Sutardji Colzoum Bachri
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung
airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi dalam ewuh pekewuh dalam
isyarat dan kilah tanpa makna
Maka aku pun pergi menatap pada wajah
orang berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki
dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa
kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada. Tapi siapakah yang mampu menjembatani
jurang di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak
bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Berimis tak mampu menguncupkan kibarannya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu negeri
airmata kami
embun pagi
17.17 |
aku ditampar serpihan angin pagi itu
seperti bertanya-tanya pada malam kemarin
dedaunan rapuh terperangkap dingin
membasuh pagi dengan embun yang bergetar
aku meresapi tiap denyut nafas angin
mengurungku dalam pedih yang bergetir
musnahkan gerak dan memutus langkah yang tersedak
terhempas hilang kabut malam
merepih waktu terkikis diri
menggerus sukma dalam peluk sejuk malam
menggerutu dalam senja yang mendekap
meringis memandangi cerita hari kemarin
sampai senja diri
sukar hati harus memahami
menunggu fajar baru datang lagi
hingga kembali pagi meramah diri