RSS

Lelucon menjelang Tidur

Lelucon Menjelang Tidur

Muhammad Ihwan

            Malam kian larut, ketika Jefri melafaskan dua kali salam dalam shalat isya’ nya. Kakinya masih bergetar dan terasa pegal karena berkendara jauh menggunakan sepeda motor siang tadi. Ia termenung sejenak, diatas sejadah dia merenungkun kisah-kisah yang ia alami. Dan lagi, ia teringat akan Vivi.
            “Ah, perempuan itu lagi”, gumamnya.
Jefri semakin sulit menghilangkan perempuan itu dari ingatan. Jefri memang menyukai Vivi. Perempuan itu menurutnya sangat pintar, wajahnya manis, perhatian. Jefri sudah mengutarakan isi hatinya, namun hanya mendapat respons singkat atau sedikit berbau cuek dari Vivi.
“hmm, iya, tidak apa-apa kok, kan juga tidak ada yang melarang” begitu jawaban Vivi sambil berlalu.
Kata- kata itu masih terngiang dalam kepala Jefri. Kemudian ia segera merapikan perangkat shalatnya. Dan keluar kamar untuk minum. Ketika melintasi ruang keluarga dia melihat kakaknya tertidur dengan pulas dengan mulut yang ternganga. Setelah ia minum segelas air putih, ia langsung kembali kekamarna. Kemudian ia mematikan lampu dan menghidupkan lampu tidur, kemudian dia merebahkan dirinya diatas kasur yang beralaskan lapis bergambar tim Juventus itu. Sudah sekian menit Jefri terbaring, ia belum hendak tertidur. Dia masih merenungkan Vivi, sudah dua hari Vivi tidak mengirmnya pesan singkat melalui handphone. Padahal hubungan mereka setelah kejadian-Jefri mengungkapkan perasaan-  itu mereka malah semakin akrab. Setiap hari terkadang ada beberapa pesan singkat dari Vivi. Tapi Jefri merasa itu hanya hubungan antar teman, dia tidak ingin terlalu jauh berharap seperti dulu.
Jefri melihat jam Swiss Army yang ia  letakkan dimeja kecil disampung tempat tidurnya. Sudah jam 22 lewat 35, matanya masih enggan terpejam. Dia mengambil headset dan memutar lagu dari handphone-nya. Dia merasa lagu yang ia putar sangat pas dengan keadaanya

            Kau beri rasa yang berbeda
            Mungkin kusalah mengartikannya
            Yang kurasa cinta

            Tetapi hatiku selalu meninggikanmu
            Terlalu meninggikanmu
            Selalu meninggikanmu

            Jefri bisa dibilang laki-laki yang paling dekat dengan Vivi, memang jika dilihat perhatian Vivi kepada Jefri cukup berbeda dari yang lain. Namun Jefri masih kurang yakin atas firasatnya itu. Dia semakin sulit untuk tidur. Dia membuka aplikasi opera mini di hp-nya dan membuka situs jejaring sosial facebook. Di sana ia menulis status 

Renunganku malam ini memberiku inspirasi untuk membuat cerpen.

            Dia kembali menutup aplikasi tersebut. Tapi matanya masih belum hendak menutup diri. Jefri kembali membuka facebook. Dia lihat ada pemberitahuan baru. Ternyata Vivi mengomentari statusnya

Dari kemarin cerpen terus, emang tugas yang lain udah kelar?

            Kemudian Jefri menjawab

Hhmm, ada yang belum sih, kimia tinggal satu soal lagi, tapi tugas mulok belum. Kamu mulok udah??

            Kembali Vivi membalas

Kalau kimia sih gamapang, ntar aku liatin deh 1 lagi. Tapi kalau mulok susah. Teman-teman yang lain juga belum dapat,

Eh tumben kamu jam sigini belum tidur, jangan-jangan ketularan sama aku ya? Hehe
Ketika Jefri hendak membalas, hp-nya berbunyi. Ternyata ada pesan masuk, sepertinya Jefri bisa menduga siap pengirimnya
“heh, sudah kuduga”. Gumam Jefri ketika pelihat nama pengirimnya, pesan itu datang dari Vivi. Isinya sama persis dengan komentarnya di facebook tadi

My comment :
@Jefri :: Kalau kimia sih gampang, ntar aku liatin deh 1 lagi. Tapi kalau mulok susah. Teman-teman yang lain juga belum dapat,

Eh tumben kamu jam sigini belum tidur, jangan-jangan ketularan sama aku ya? Hehe”

Kemudia mereka langsung saling berikirim pesan singkat
hehe, iya sih. Bisa jadi emang ketularan kamu. Entah lah, padahal badan capek, tapi mata masih belum mau nurut sama tuan-nya”
“hahaha, maka nya Jef. Menurut buku yang aku baca, tidak bagus kalau waktu kerja dan waktu istirahat mata tidak seimbang, karena berpengaruh pada kesehatan. Ini hanya sekedar saran.”
“memang, tapi kan ini bukan mau    ku, mata nih yang tidak mau nurut sama tuan nya, eh utnggu dulu, kamu juga seperti itukan.? “
“ eh, iya juga yah, hehehe.
            Tapi aku malam ini emang tidak bisa tidur Jef “

            Jefri membalas pesan singkatnya sambil senyum-senyum sendiri. Mulutnya mulai menguap. Rasa kantuk yang ia nanti sejak tadi akhirnya menghampirinya.

            ”kenapa tidak bisa tidur?”
“ entah lah, hatiku rasa nya tidak tenang malam ini. “
            “mungkin ada yang kamu pikirin terus. Aku juga begitu, biasanya pukul 21.00 sudah terkapar ditempat tidur, tapi ini masih bangun. Padahal badanku juga capek. Tapi iya sih, pikiranku juga galau, entah mengpa… aku tidak tahu.”
Malam itu kian terasa sunyi, suara jangkrik seperti lenyap ditelan malam, yang terdengar hanya suara lentingan keypad hp mereka berdua dalam tempat yang berbeda. Sepi, sunyi, mereka seperti hanya berdua dimalam itu.
“sama, aku juga seperti itu. Tapi kali ini rasanya beda. Bedaaaaaaaaaaaa sekali Jef”
Dengan bergaya seperti orang bijak, Jefri kembali membalas pesan singkatnya
“boleh saya tau makna dari “rasa” yang anda maksud?”
“eh, susah mau mendeskripsikannya Jef, yang jelas aku merasa seperti ada yang memanggil perasaan ku gitu. Dan sepertinya dia benar-benar membutuhkan pertolonganku”

            Jefri berpikir, apa yang dirasakan Vivi. Jika ada orang yang memanggil perasaanya adalah dia. Mungkin bisa jadi.
            “Apakah aku yang mungkin terlalu kuat perasaanku sehingga ia merasakan hal yang seperti itu, tapi, aku tidak terlalu sampai segitunya lah. Sampai benar-benar membutuhkan dia.” Gumam Jefri dalam hati.
            Kemudian dia kembali membalas pesan singkat itu

            “hah? Bisa seperti itu ya? Hmm, kontak batin mungkin. Tpi Vi, biasanya yang seperti itu emang benar-benar terjadi.”           
“Hah? Jef, serius dong. Seperti ada yang berbau mistik gitu. Jef, jangan nakutin lah.”
Jefri menarik nafas panjang. Mengerutkan keningnya, berpikir kata apa yang paling pas untuk membalas pesan dari Vivi barusan. Treenngg!! Lampu diatas kepalanya hidup. Menunjukan bahwa dia telah mendapatkan kata-kata. Dia mengetik kembali pesan singkatnya.
“Tidak Vivi, bukan seperti itu. Tapi mungkin emang ada orang yang sedang butuh sama kamu. Terus Allah menyampaikannya melalui firasat, itu hanya mungkin. Tapi, kalau kamu masih galau coba istighfar, zikir, insya Allah hatimu bisa jadi lebih tenang.”
Setelah membalas pesan singkat tadi, Jefri bangkit dari tempat tidurnya, kemudan keluar dari kamar. Dia kembali meneguk minuman segelas. Saat kembali kekamar. Dia melihat kakakknya yang tadinya tertidur sedang asyik melihat pertandingan sepak bola.
“Siapa yang main?”
            “Qatar melawan Cina. Seru loh, tidak nonton dulu?”
“Tidak kak, udah ngantuk.”

            Kemudian Jefri kembali menuju kamarnya. Dia lihat ada balasan lagi dari Vivi. Dan dia sangat terkejut dengan balasan dari Vivi

            “Hahaha, kamu kena tipu Jef. I just kidding tahu! Tidak separah itu kok perasaan aku. Haha”
Jefri yang sudah bersusah payah merangkai kata-kata hanya menggaruk kepala.
“wanita emang tidak bisa ditebak!” gerutunya.
Kemudian dibalas lagi oleh Jefri

            “Eh, dasar kamu nih. Udah keren-keren buat kata-kata, ujung-ujung nya tak berguna. Kenapa sih setiap mau berbuat baik ada saja kendalanya.”
“Jefri... Jefri.., kamu ini. Hahaha. Emang sejak kapan aku punya telepati seperti itu? Itu cuma iseng tahu!
             Tapi Jef… saat ini, terutama malam ini aku benar-benar merasakan ada orang yang juga merasakan hal yang sama denganku. Seriously”
“iya, tapi yang kamu rasain sekarang ini apa? Jangan berbelit seperti itu dong”
“Emmm, apa ya? Aku juga tidak tahu Jef, yang jelas it first for me”

            Jefri semakin penasaran, terutama saat Vivi bilang “it first for me”, ini adalah yang pertama untukku, itulah maknanya. Jika Vivi memang merasa ada seseorang yang persaanya sama dengan dia. Jefri berharap bahwa itu adalah dirinya. Tapi apakah itu mungkin, sebelumnya Jefri sudah mengetahui bahwa Vivi pernah mengagumi seseorang. Tapi Jefri tidak tahu apakah masih atau tidak. Untuk saat ini, Jefri tidak yakin bahwa itu adalah dirinya.
“Maaf jika aku sedikit lancang, apakah kamu Falling in love?”
Vivi menjawab dengan singkat
            “Maybe, t i d a k”
Belum sempat Jefri membalas, Vivi kembali mengirim pesan singkat
“Udahlah Jef, anggap saja obrolan kita tadi hanya lelucon menjelang tidur. Thank’s udah menemaniku malam ini”
Jefri tahu, Vivi sedang menyembunyikan sesuatu.
“Jika hanya menganggap berarti hanya mencoba melupakan sesuatu yang sebenarnya ingin diketahui.
Iya Vi, sama-sama, good night”
Jefri melempar hp-nya kesudut tempat tidur. Ia mengira pesan itu tidak akan dibalas lagi oleh Vivi. Dia coba memejamkan mata. Namun ia kembali terkejut. Hp- nya bergetar. Ada pesan masuk. Dari Vivi.
“Sorry Jef, sebenarnya ada banyak rahasia yang mau aku ungkap. Tapi, aku tidak bisa. Sulit rasanya untuk jujur dan mengungkapkan semua kegalauan ini”
Suasana begitu hening, pembicaraan yang Vivi anggap sebagai lelucon menjelang tidur menjadi pembicaraan yang serius dan terpaut pada perasaan. Jefri merenung, apa yang sebenarnya yang mengisi hati Vivi saat ini.
“Mengapa sulit? Tapi sudahlah. Tidak apa-apa. Itu adalah hak kamu kalau mau memberitahu atau tidak. Kalau itu memang tidak bisa juga tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa dan tidak punya hak untuk memaksa”
Vivi hamya membalas
 “….”
            “sepertinya kegalauanmu sudah sampai stadium akhir. Sampai hanya menulis titik-titik. Ya sudahlah. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi.”
Sampai disitu pembicaraan mereka terhenti. Jefri tidak tahu pakah Vivi sudah tidur atau masih memikirkan perasaannya. Yang jelas Jefri tahu, sangat sulit baginya untuk mendapatkan Vivi. Namun, sejenak terngiang dalam benak Jefri, entah mengapa pesan-pesan yang Vivi kirim ke-dia tadi seperti Vivi sedang meyakinkan dirinya bahwa Vivi juga menyukainya. Tapi Jefri tak mau berangan tinggi dulu. dia hanya ingin kenyataan yang manis. Bukan khayalan tingkat tinggi belaka. Namun dia juga tak berputus asa dan terlarut dalam kesedihan. Karena ia yakin Tuhan telah mengatur semuanya.
Dia perlahan memeluk erat bantal guling disampingnya. Siulan angin malam kian merebak. Makin sunyi dingin semakin melekat.  Sambil mendengarkan lagu, yang menurutnya sangat pas untuk perasaannya saat itu, perlahan. Diantara deru dentingan piano dalam lagu “Mimpi Yang Sempurna” itu, ia terlelap bersama pekatnya malam.

            Aku kan menghilang dalam pekat malam
            Lepas kumelayang

            Biarlah kubertanya pada bintang-bintang
            Tentang arti kita
            Dalam mimpi yang sempurna
           
           




Read Users' Comments (0)

Langit Sore Tak Selalu Indah, Kawan”

Muhammad Ihwan


Langit sore berkilau memantulkan cahaya sang surya. Burung-burung gereja berombongan terbang lepas, yang membuat langit ditutupi sejenak oleh matras hitam. Terlihat bulan mulai menampakkan diri, dan mentari juga segera undur diri. Angin senja bertiup lembut, sejuk menyelimuti sekujur tubuh. Aku termenung memandangi kilauan jingga diufuk barat. Langit sore yang cerah, namun sepi untukku,
Sejak pagi aku masih belum bisa melepas galau yang menyesakki pikiranku. Dalam kepalaku masih mendayu-dayu kejadian ketika semua terasa menjauh. Beginikah rasanya dijauhi teman?. Apakah sifatku terlalu keras sehingga merubah keadaan seperti ini, sudah dua hari aku dikucilkan dikelas. Angin senja bertiup cukup kencang, pohon-pohon seakan menari dengan kompak, mereka melepas dedaunan yang kering, satu daun jatuh dipangkuanku. Daun itu memang telah kering, tua, dan koyak, apakah aku seperti ini sekarang? Ataukah rasa jenuh yang menjamah antara aku dan mereka kerena tahun ini adalah tahun kesepuluh diriku menjadi ketua kelas.
Pandanganku kali ini lurus kebawah, memandangi dedaunan yang berserakan, kemudian beterbangan ditiup angin. Kemudian serakan daun kering tersebut tersepak-sepak oleh kaki yang melintas didepanku. Aku mendongakkan kepala, ternyata Feri. dia tersenyum menatapku, orangnya memang selalu tenang. Matanya yang sipit berlapis kacamata itu semakin terlihat hilang ketika dia memandang langit sebelah barat. Dia tersenyum.
kerisauan hatimu menghempas keceriaanmu
              Sejak fajar menjelang lamunanmu tak pernah lari
Ada apa denganmu sobat? “ tanyanya sambil mengalunkan puisi
“hhmm, tidak ada, apa maksud puisimu tadi?” tanyaku.
“hhmm, kau tak perlu mengelak. Kau jelas mengerti dengan puisi tadi.”
“Aku benar-benar tidak tahu”
“tanyakan pada raut wajahmu”
“kenapa dengan raut wajahku?”
“karena raut wajahmu lah yang menciptakan puisi itu.”
Aku tertegun, aku memang mengetahui makna puisi tersebut. Dan wajahku memang tidak bisa menyembunyikan kegelisahan ini.
“kau selalu melukiskan semuanya dengan puisi” aku kembali bicara.
“bukankah kau juga begitu?” tanyanya kembali.
“benarkah?”
            “mungkin. Kau tahu? langit sore itu tak selalu indah kawan”
“mengapa kau berpendapat seperti itu?”
“karena hidup juga tidak akan selalu berjalan seperti yang kita mau, dalam hidup ada masa dimana dirimu akan menyadari bahwa jalan yang kautempuh begitu sulit, Itulah yang akan mengajarimu dan membuatmu lebih memahami hidup dan mengerti makna untuk apa kita hidup?”
“apakah kau mengerti makna itu?”
“aku mengerti, sangat paham.”
“Apa itu?”
“Aku takkan memberitahumu, karena kau akan mengetahuinya sendiri nanti”
Langit sore yang kian menjelang, daun-daunan yang berserakan tadi beterbangan, angin senja ini cukup kencang. Kulihat ibu-ibu sekitar mulai mengambil kain yang mereka jemur sejak fajar mulai menyingsing. Kami berdua masih duduk dibangku taman depan rumahku.
“Darimana kau tahu bahwa aku akan mengetahuinya”
“Entah lah, aku merasa yakin saja bahwa kau bisa tahu.”
“Apakah aku bisa percaya bahwa keyakinanmu itu benar?”
“Hhmm, itu tergantung padamu. Sebagaimana kau bisa memahami hidup, agar hidup juga bisa memahamimu.”
Aku menarik nafas panjang. Apakah hidup sedemikian mengerti kita saat ini? Ataukah kita mengkhianati hidup sehingga hidup enggan bersahabat. Pembicaraan dengan Feri membuatku semakin bingung.
“apakah kau masih akan menyimpan muka masammu itu hingga besok?” tanyanya
“entah lah.”
“berarti kau tidak ada perencanaan dalam hidupmu. Kau hanya membiarkannya berjalan lurus saja kedepan. Tanpa memikirkan akibatnya.”
`“kenapa kau berkata seperti itu?”
“karena kau sendiri tak tahu akan kemana kau melangkahkan hidupmu selanjutnya.”
Tiba-tiba nada bicara kami menjadi naik. Kata-kata Feri tadi membuatku sadar bahwa hidup memerlukan sebuah perencanaan dan kita harus tahu kemana arah hidup kita.
“itulah yang membuatmu tidak mengetahui arti untuk apa kita hidup” tambahnya lagi.
Semilir angin sore itu kian kencang bertiup. Aku tidak bisa membangkang lagi. Ternyata pikiranku masih terlalu dangkal. Feri duduk dengan menyilangkan kakinya, ia bersandar sambil meletakkan sikunya diatas sandaran kursi panjang tempat kami duduk. Matanya yang sipit kembali menatap langit. Dia kembali melantukan puisi.

            “aku adalah jari-jari, memegang roda putar bumi
             Tenang disisi panikku mengetuk rasa membawaku
             Disini tersenyum, disatu diriku melamun
            Terang disisi gelapku merenung, arah menuntunku

            Sadari langkahku, dicelah bumi kuterpaku
            Mencari arti hidupku yang baru, relakan nafasku
            Kumenunggu datang terang, biarkan gelap menghilang
            Bantu aku untuk menunggu roda membawaku”

 Kemudian dia tersenyum kearahku, kemudian kembali terpejam menikmati hembusan angin yang menerpa wajah kami.
“Kau menyindirku?” tanyaku.
            “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
“Puisi yang kau ucapkan tadi?”
“apa kau mengerti makna sesungguhnya dari puisi tadi?”
“oh entah lah, hanya saja feeling ku berkata demikian.”
“berarti feeling-mu jelek.”
“sialan kau.”
“cobalah kau temukan sendiri makna dari hidupmu, kautunggu, dia akan datang, tapi lama. Tapi jika kau kejar, ia takkan lari”.
Aku terpaku dengan kata-katanya. Dia berkata seakan dia telah menggenggam hidupnya. Seperti tak ada beban dihidupnya. Dia selalu tersenyum dalam menyikapi sesuatu. Aku bingung dengan pria ini. Handphone-ku bergetar, ada pesan masuk. Dengan berharap ada teman yang menghubungi diriku aku membuka pesan. Ternyata dari operator, yang memberitahukan bahwa masa aktif kartuku akan segera habis. Ternyata benar, masih belum lepas beban ini dari hatiku.
“Sesungguhnya hidup adalah anugerah Tuhan yang paling berharga kawan. Jangan kau sia-siakan begitu saja.” Katanya sambil berdiri dengan memasukkan kedua tangan kekantongnya.
“Aku harap saat kita bertemu nanti kau telah menemukan makna untuk apa kita hidup. Hari sudah mulai gelap. Aku mau pulang dulu. see you!!” dia berlalu bersama dengan angin.

Suara adzan maghrib menggema ditelinga. Aku kembali kerumah masih dalam keadaan bingung. Aku yang tidak waras atau Feri yang mengada-ada.


            Malam semakin larut. Setelah shalat isya’ aku memutuskan untuk segera tidur. Tapi, kata-kata Feri masih bergeming ditelingaku. Terutama puisi yang ia ucapkan tadi. Apakah aku yang semakin bingung dalam meniti setapak hidupku. Rasa ini semakin membelenggu otakku. Aku punya masalah dengan teman-teman. Tapi dia malah berbicara tentang hidup. Untuk apa kita hidup? Itulah yang masih kupikirkan saat ini. Aku melihat jam di handphone-ku, sudah pukul 22 lewat 25. ketika memegang handphone, aku sadar aku sangat jarang menyentuhnya hari ini. Terasa dingin ditanganku. Yang berarti tak ada satu teman pun yang ingin menghubungiku. Aku tak tahu apa yang terjadi besok. Bersama dengan nyanyian angin malam, mataku ikut terpejam.
Aku terbangunkan oleh lagu Wake Me Up When September Ends dari band Greenday yang kusetel sebagai nada alarm ku. Sudah pukul 5 pagi. Adzan subuh telah lewat beberapa menit yang lalu. Aku segera kekamar mandi, mengambil air Wudhu dan shalat. Subuh kali ini benar-benar sejuk. Aku membuka pintu dan keluar. Kulihat ketimur, tampak sinar mentari mulai merayu sedikit. Namun belum begitu tampak. Aku menyentuh melati yang ditanam ibuku diperkarangan, basah, embun pagi rupanya yang memberi hawa sejuk disini. Aku merasa hari ini akan cerah. Tapi apakah hatiku juga begitu. Apa aku harus membiarkan keadaan tetap seperti ini. Aku masih teringat kata-kata Feri. apakah kau akan tetap menyimpan wajah masammu itu? Aku tak ingin semua jadi seperti ini. Sang fajar mulai naik. Embun yang menetesi jemariku, menemaniku menangis pagi ini.
Setelah sarapan, aku pamit dengna orang tuaku dan segera berangkat kesekolah. Mereka sepertinya sangat ramah denganku hari ini.
“Hari ini mau makan dimana Mad?” Tanya ibuku sambil tersenyum.
            “ hah? Ibu ini bicara apa? Daripada makan diluar aku lebih suka masakan ibu kok.”

Ayah dan Ibuku hanya tersenyum. Aku memang seorang anak bungsu, umurku terpaut jauh dari tiga orang kakakku. 3 orang kakakku telah menyelesaikan kuliah dan sekarang sudah bekerja semua. Sedangkan aku masih kelas X Sekolah Menengah Atas.

            “Kakak mungkin nanti pulang agak sore? Minta dibelikan sesuatu tidak? “ pekik kakakku.
“terserah saja kak, eskrim Magnum juga boleh, hahaha”.

            Entah mengapa mereka berbeda sekali hari ini, aku hanya berharap keadaan dirumah sama dengan keadaan disekolah.
            Perasaanku masih campur aduk seperti gado-gado harga 5000 dipasar. Aku mengharapkan kata-kata yang diucapkan Feri adalah fakta. Bukan hanya bualan yang ia dapat dari novel remaja, atau buku karangan seorang psikolog. Aku memarkirkan motorku, meletakkan kuncinya didalam tas. Dan segera menuju kekelas. Kulihat teman-teman sudah banyak yang datang. Aku menyapa, namun tiada satupun dari mereka yang peduli. Mereka menyisakanku bangku kosong untukku ditempat paling belakang. Aku hanya duduk sendiri, entah mengapa aku merasa kebahagiaan benar-benar terampas dari hidupku. Apakah aku sudah terlalui jauh dalam mengkhianati hidup. Aku tersadar bahwa kata-kata yang diucapkan Feri senja kemarin ada benarnya. Sudah kuduga, suasana antara dirumahku dengan dikelas bak langit dan bumi. Terlalu jauh berbeda. Lamunanku terbuyar ketika Sally, datang menghampiriku.

            “Kamu dipanggil Pak Alhadi keruangan guru sekarang”.

            Hanya begitu saja, ekspresinya datar. Kulihat dari wajahnya. Dia seperti ingin muntah saat menatapku. Aku bilang terimakasih kepadanya, namun dia tak menghiraukan. Aku langsung bergegas menuju keruang guru. Sampai disana, lagi dan lagi. Aku harus kembali bersabar.

            “Kenapa kamu kemarin tidak datang gotong-royong?” Tanya Pak Alhadi ketusp padaku.
“Go,,gotong-royong? Maksud bapak?”
“ya, gotong-royong, kenapa kamu tidak datang kemarin?”
“saya tidak mengerti pak. Saya sama sekali tidak mengetahui bahwa kemarin itu ada gotong-royong.”
“Ketua kelas seperti apa kamu?!! Seharusnya kamu itu paling tahu. Tapi kamu malah paling tidak disiplin. Teman-temanmu kemarin sore bekerja keras, sementara kamu enak-enakan bersantai dirumah.”

            Aku benar-benar dipermalukan ditengah guru-guru yang lain. Semua pandangan kini tertuju padaku. Aku dibentak habis-habisan oleh pak Alhadi.

            “Tapi pak, saya benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai…”
“Tidak usah banyak cing-cong kamu. Badan saja yang besar. Tidak ada gunanya kamu sebagai ketua-kelas. Jangan salahkan saya jika suatu saat kamu akan terdepak dari kelas X.1.”

             Aku kena skak, telak, hati dibacok, dikeroyok, dienyak-enyakkan, dipatahkan, dihancurkan, disayat. Habis sudah nasibku hari ini. Setelah itu aku segera kembali kekelas. Dan lagi, rasanya aku benar-benar ingin berteriak sekencang-kencangnya. Hatiku sudah tak tahan lagi. Kelas yang tadi kutempati bersama teman-temanku kosong. Semuanya Raib. Termasuk tasku juga mereka bawa. Aku benar-benar bingung. Nafasku mendengus-dengus, menahan tangis, amarah, sungguh tak kuat. Ingin rasanya aku meninju hidung Feri sialan itu. Kata-katanya tidak ada gunanya sama sekali. Tidak membantuku.
Aku termenung sendiri kelas. Aku benar-benar kesal. Aku memutuskan untuk keluar mencari mereka. Aku mencoba mencari keruang geografi. Dan sialnya, kenapa pula motorku sudah terpampang didepan ruang geografi. Aku yakin ini pasti ulah mereka, yang dipimpin oleh Uki, si wakil kertua kelas. Aku segera berlari menghampiri motorku. Ketika aku hendak menyentuhnya, aku merasa ada sesuatu sedang menuju kearahku. Dan

“CPLAKKK”

            Sesuatu mengenai kepalaku, baunya agak amis. Kupegang ini seperti lendir. Aku serasa ingin muntah. Aku melihat kebalakang, tapi ketika aku berpaling. Satu kelas mengeroyokku.

            “Cplak.. cplak,, cplak,,”

            Habis tubuhku, mereka menghajarku dengan benda yang sama dengan yang melemparku. Kemudian mereka menjauhiku. Ketika aku melihat kedepan.

            “Brushh..”

            Apalagi ini, seperti tepung, habis sudah wajahku. Kulihat kebawah ada banyak cangkang telur berhamburan. Kemudian mereka bertepuk tangan sambil tersenyum, kemudian Diva datang mendekatiku sambil memegang sebuah benda berwarna coklat kehitaman, ada angka 15 diatasnya seperti lilin. Mulutnya ternganga seperti ingin mengucapkan sesuatu.

            “Selamat ulang tahun ya Mad” ucapnya bersemangat.

            Yang lain kemudian menyalamiku. Dan mengucapkan selamat semua. Aku benar-benar terkejut. Aku sama sekali tidak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku benar-benar lupa karena terus memikirkan bersama mereka. Kulihat pak Alhadi juga ikut berbaur. Ternyata beliau juga mengikuti rencana surprise teman-teman. Dari sini aku sadar kenapa tadi pagi semua keluargaku tampak ramah. Kami kembali merangkul tangan masing-masing. Dan telah membuktikan bahwa kata-kata Feri benar. Dalam canda kami terdengar riuh angin ikut berbaur, daun-daun mengibaskan tubuhnya, ada yang lepas dari tangkainya dan ikut berbaur bersama kami. Awan-awan bergerak menutupi sedikit senar mentari, sehingga siang itu menjadi teduh. Tawa, canda kami siang itu, bersahabat dengan angin yang lebih akrab daripada angin senja.

            Hidup, tak selamanya seperti madu, dia juga akan terasa pahit, obat yang pahit yang kemudian mengobati sikap kita untuk selanjutnya menyikapi hidup lebih baik dimasa depan, meninggalkan masa lalu dan menjadikannya cermin untuk intropeksi diri dimasa depan. Itulah makna perjalanan hidup.

            Dan kini kubiarkan masa lalu menghilang
            Tanpa beban aku meninggalkan belakang

            Lalu kubiarkan masa lalu menghilang
            Tanpa beban aku menginggalkan belakang.   

Read Users' Comments (0)

Tirai yang Membisu

keheningan malam mengukir sebuah kepedihan
pekatnya aroma mu melekat dihatiku
aku terhenyak dalam rindu yang menginjak
aku terbata dalam gelap kasihmu

aku terlepas dari kenyataan
membayangkanmu,
ah, membutakan hati
dibalik tirai hati, engkau mengintip
namun engkau menyapa

dibalik tirai hujan, engkau menghilang
dalam realita hidupku

Read Users' Comments (0)

....

penyesalan memang selalu datang diakhir, dimanapun ada yang bilang "mengapa penyesalan itu datangnya belakangan?" . secara logika itu adalah kata yang tak perlu.

Bisa dibilang aku saat ini benar-benar menyesal. Setelah selesai menulis cerpen kemarin, aku menuliskan judulnya di Facebook. memang, judul cerpen itu aku ambil dari temanku, dan dia perempuan. Cerpen itu terinspirasi ketika aku dan dia saling berkirim pesan pada suatu malam. Aku tak menduga dia sampai kecewa seperti itu. dan enggan menyapaku dalam beberapa hari(semoga tidak lama). Sebenarnya tak masalah sih, tapi. kali ini orang yang aku buat kecewa adalah dia. dia kurang setuju karena aku membuat cerpen sesuai kata-katanya.

perasaan paling tidak enak adalah ketika kita mengecewakan seseorang yang kita dambakan.

Read Users' Comments (0)

Filosofi Hidup

Huaahh, masih dalam kondisi libur nih sob, tapi masih diselingi tugas. ya udah sih saya jalanin.
Tapi sepertinya saya dan teman-teman hanya terpaku kepada tugas yang udah dicari mutar-mutar ga dapat-dapat.
untuk sekedar refreshing saya entri ini. entah apa yang saya pikirkan masih bingung.
dalam mencari sebuah makna hidup, kita harus tau apa itu hidup, untuk apa kita hidup, dan bagaimana menjalani hidup. Bagi saya hidup adalah anugerah berupa nikmat dari Tuhan kepada kita, dan Amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan. salah satu kalimat yang saya ambil dari pak Fahmi, Guru Ekonomi SMA saya.

kita hidup dijaman yang katanya kaya akan kemajuan tekhnologi. yang terkadang melupakan makna tujuan hidup kita sebenarnya. Semua orang terkadang hampir sibuk dengan memperkaya diri. dan melupakan orang lain,
Apakah dunia sedemikian kecil sehingga seseorang bisa merasa ia cukup sendiri didunia ini.
telah ditakdirkan dan tak dapat dipungkiri bahwa status "orang miskin" tidak dapat terhapuskan dari dunia ini.
karena itu adalah Kudrat dari Tuhan, dan agar si kaya bisa menjalankan amanat dalam hidup nya sebagai pemegang sebagian harta orang miskin. namun, kesadaran seperti itu sangat sulit ditemukan. sangat jarang tingkat kepedulian seseorang sampai kesana. sadarkah kita, bahwa orang miskin adalah salah satu faktor yang membuat seseorang menjadi kaya.

kita hanya bisa merenungkan bagaimana jalan hidup kita kedepan. Kawan, posisi kita jauh lebih beruntung, disana masih ada orang yang memiliki mimpi dan harapan dalam status yang menyedihkan. Kita selalu merasa kurang dengan apa yang kita miliki, yah. itu adalah kodrat manusia yang tak bisa dipungkiri, tapi pernahkah kita merasa ada yang lebih kurang.

kawan, hidup adalah kondisi dimana kita saling memenuhi kodrat dan menjalakan amanat masing-masing sesuai status yang kita genggam, jalani hidup dengan senyum kau beri tak hanya untuk seseorang, tapi untuk semua yang pernah mengenalmu, agar dunia juga tersenyum bersamamu

Read Users' Comments (0)

Surat Untuk Kawan

Kawan, kita beruntung telah terlahir bersama, dan berjumpa dijenjang yang sama. Kawan, pernah kita berpikir, mengapa kita tidak masuk ke-sekolah yang derajatnya lebih unggul, kita menyesal telah gagal kesana. tapi, sadarkah kita,bahwa secara tidak langsung kita mensyukuri pertemuan kita di-sekolah yang sama. kita sama-sama tak mau terpisah, dirolling, dan saling menutupi kelemahan teman satu sama lain. perbedaan pendapat, tujuan, persaingan, cerita cinta, telah kita ukir bersama. saling berbagi dalam susah. ada sahabat peterpan, st-setia, korean-lovers, JB- lovers, changcut-ranger, massivers, afganisme,  semua perbedaan itu kita tutupi dengan menghormati pendapat dan keinginan masing-masing.
Kawan, meskipun harus terpisah. beruntung dan bersyukurlah kita pernah berada dalam jalan yang sama untuk meraih mimpi. tak ada penyesalan dalam persahabatan. karena dalam diri kita jelas ada perbedaan, namun itulah yang membuat kita harus tetap saling menjaga perasaan, dan tetap berpegang hati dalam menyikapi sesuatu, dan merekam kenangan ini yang akan kau ingat saat kau telah berdiri dalam telapak hidupmu. saat kau telah mendapatkan jatidirimu. ingatlah bahwa kami pernah menjadi bagian dari mimpimu. Kawan

Read Users' Comments (0)

Hati Perindu

HATI PERINDU

Saat hati membuka mata
Ia akan menepuk-nepuk dada
ia akan kempas-kempis menyesaki
dada kian ngilu kian rindu
ketika cinta mulai menyapa
hati kian gila mendamba
dalam ayunan bunga-bunga jiwa
punai merindu bernyanyi merdu
membisikkan terus nama itu
yang membuatku terus merindu

Read Users' Comments (0)