RSS

Langit Sore Tak Selalu Indah, Kawan”

Muhammad Ihwan


Langit sore berkilau memantulkan cahaya sang surya. Burung-burung gereja berombongan terbang lepas, yang membuat langit ditutupi sejenak oleh matras hitam. Terlihat bulan mulai menampakkan diri, dan mentari juga segera undur diri. Angin senja bertiup lembut, sejuk menyelimuti sekujur tubuh. Aku termenung memandangi kilauan jingga diufuk barat. Langit sore yang cerah, namun sepi untukku,
Sejak pagi aku masih belum bisa melepas galau yang menyesakki pikiranku. Dalam kepalaku masih mendayu-dayu kejadian ketika semua terasa menjauh. Beginikah rasanya dijauhi teman?. Apakah sifatku terlalu keras sehingga merubah keadaan seperti ini, sudah dua hari aku dikucilkan dikelas. Angin senja bertiup cukup kencang, pohon-pohon seakan menari dengan kompak, mereka melepas dedaunan yang kering, satu daun jatuh dipangkuanku. Daun itu memang telah kering, tua, dan koyak, apakah aku seperti ini sekarang? Ataukah rasa jenuh yang menjamah antara aku dan mereka kerena tahun ini adalah tahun kesepuluh diriku menjadi ketua kelas.
Pandanganku kali ini lurus kebawah, memandangi dedaunan yang berserakan, kemudian beterbangan ditiup angin. Kemudian serakan daun kering tersebut tersepak-sepak oleh kaki yang melintas didepanku. Aku mendongakkan kepala, ternyata Feri. dia tersenyum menatapku, orangnya memang selalu tenang. Matanya yang sipit berlapis kacamata itu semakin terlihat hilang ketika dia memandang langit sebelah barat. Dia tersenyum.
kerisauan hatimu menghempas keceriaanmu
              Sejak fajar menjelang lamunanmu tak pernah lari
Ada apa denganmu sobat? “ tanyanya sambil mengalunkan puisi
“hhmm, tidak ada, apa maksud puisimu tadi?” tanyaku.
“hhmm, kau tak perlu mengelak. Kau jelas mengerti dengan puisi tadi.”
“Aku benar-benar tidak tahu”
“tanyakan pada raut wajahmu”
“kenapa dengan raut wajahku?”
“karena raut wajahmu lah yang menciptakan puisi itu.”
Aku tertegun, aku memang mengetahui makna puisi tersebut. Dan wajahku memang tidak bisa menyembunyikan kegelisahan ini.
“kau selalu melukiskan semuanya dengan puisi” aku kembali bicara.
“bukankah kau juga begitu?” tanyanya kembali.
“benarkah?”
            “mungkin. Kau tahu? langit sore itu tak selalu indah kawan”
“mengapa kau berpendapat seperti itu?”
“karena hidup juga tidak akan selalu berjalan seperti yang kita mau, dalam hidup ada masa dimana dirimu akan menyadari bahwa jalan yang kautempuh begitu sulit, Itulah yang akan mengajarimu dan membuatmu lebih memahami hidup dan mengerti makna untuk apa kita hidup?”
“apakah kau mengerti makna itu?”
“aku mengerti, sangat paham.”
“Apa itu?”
“Aku takkan memberitahumu, karena kau akan mengetahuinya sendiri nanti”
Langit sore yang kian menjelang, daun-daunan yang berserakan tadi beterbangan, angin senja ini cukup kencang. Kulihat ibu-ibu sekitar mulai mengambil kain yang mereka jemur sejak fajar mulai menyingsing. Kami berdua masih duduk dibangku taman depan rumahku.
“Darimana kau tahu bahwa aku akan mengetahuinya”
“Entah lah, aku merasa yakin saja bahwa kau bisa tahu.”
“Apakah aku bisa percaya bahwa keyakinanmu itu benar?”
“Hhmm, itu tergantung padamu. Sebagaimana kau bisa memahami hidup, agar hidup juga bisa memahamimu.”
Aku menarik nafas panjang. Apakah hidup sedemikian mengerti kita saat ini? Ataukah kita mengkhianati hidup sehingga hidup enggan bersahabat. Pembicaraan dengan Feri membuatku semakin bingung.
“apakah kau masih akan menyimpan muka masammu itu hingga besok?” tanyanya
“entah lah.”
“berarti kau tidak ada perencanaan dalam hidupmu. Kau hanya membiarkannya berjalan lurus saja kedepan. Tanpa memikirkan akibatnya.”
`“kenapa kau berkata seperti itu?”
“karena kau sendiri tak tahu akan kemana kau melangkahkan hidupmu selanjutnya.”
Tiba-tiba nada bicara kami menjadi naik. Kata-kata Feri tadi membuatku sadar bahwa hidup memerlukan sebuah perencanaan dan kita harus tahu kemana arah hidup kita.
“itulah yang membuatmu tidak mengetahui arti untuk apa kita hidup” tambahnya lagi.
Semilir angin sore itu kian kencang bertiup. Aku tidak bisa membangkang lagi. Ternyata pikiranku masih terlalu dangkal. Feri duduk dengan menyilangkan kakinya, ia bersandar sambil meletakkan sikunya diatas sandaran kursi panjang tempat kami duduk. Matanya yang sipit kembali menatap langit. Dia kembali melantukan puisi.

            “aku adalah jari-jari, memegang roda putar bumi
             Tenang disisi panikku mengetuk rasa membawaku
             Disini tersenyum, disatu diriku melamun
            Terang disisi gelapku merenung, arah menuntunku

            Sadari langkahku, dicelah bumi kuterpaku
            Mencari arti hidupku yang baru, relakan nafasku
            Kumenunggu datang terang, biarkan gelap menghilang
            Bantu aku untuk menunggu roda membawaku”

 Kemudian dia tersenyum kearahku, kemudian kembali terpejam menikmati hembusan angin yang menerpa wajah kami.
“Kau menyindirku?” tanyaku.
            “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
“Puisi yang kau ucapkan tadi?”
“apa kau mengerti makna sesungguhnya dari puisi tadi?”
“oh entah lah, hanya saja feeling ku berkata demikian.”
“berarti feeling-mu jelek.”
“sialan kau.”
“cobalah kau temukan sendiri makna dari hidupmu, kautunggu, dia akan datang, tapi lama. Tapi jika kau kejar, ia takkan lari”.
Aku terpaku dengan kata-katanya. Dia berkata seakan dia telah menggenggam hidupnya. Seperti tak ada beban dihidupnya. Dia selalu tersenyum dalam menyikapi sesuatu. Aku bingung dengan pria ini. Handphone-ku bergetar, ada pesan masuk. Dengan berharap ada teman yang menghubungi diriku aku membuka pesan. Ternyata dari operator, yang memberitahukan bahwa masa aktif kartuku akan segera habis. Ternyata benar, masih belum lepas beban ini dari hatiku.
“Sesungguhnya hidup adalah anugerah Tuhan yang paling berharga kawan. Jangan kau sia-siakan begitu saja.” Katanya sambil berdiri dengan memasukkan kedua tangan kekantongnya.
“Aku harap saat kita bertemu nanti kau telah menemukan makna untuk apa kita hidup. Hari sudah mulai gelap. Aku mau pulang dulu. see you!!” dia berlalu bersama dengan angin.

Suara adzan maghrib menggema ditelinga. Aku kembali kerumah masih dalam keadaan bingung. Aku yang tidak waras atau Feri yang mengada-ada.


            Malam semakin larut. Setelah shalat isya’ aku memutuskan untuk segera tidur. Tapi, kata-kata Feri masih bergeming ditelingaku. Terutama puisi yang ia ucapkan tadi. Apakah aku yang semakin bingung dalam meniti setapak hidupku. Rasa ini semakin membelenggu otakku. Aku punya masalah dengan teman-teman. Tapi dia malah berbicara tentang hidup. Untuk apa kita hidup? Itulah yang masih kupikirkan saat ini. Aku melihat jam di handphone-ku, sudah pukul 22 lewat 25. ketika memegang handphone, aku sadar aku sangat jarang menyentuhnya hari ini. Terasa dingin ditanganku. Yang berarti tak ada satu teman pun yang ingin menghubungiku. Aku tak tahu apa yang terjadi besok. Bersama dengan nyanyian angin malam, mataku ikut terpejam.
Aku terbangunkan oleh lagu Wake Me Up When September Ends dari band Greenday yang kusetel sebagai nada alarm ku. Sudah pukul 5 pagi. Adzan subuh telah lewat beberapa menit yang lalu. Aku segera kekamar mandi, mengambil air Wudhu dan shalat. Subuh kali ini benar-benar sejuk. Aku membuka pintu dan keluar. Kulihat ketimur, tampak sinar mentari mulai merayu sedikit. Namun belum begitu tampak. Aku menyentuh melati yang ditanam ibuku diperkarangan, basah, embun pagi rupanya yang memberi hawa sejuk disini. Aku merasa hari ini akan cerah. Tapi apakah hatiku juga begitu. Apa aku harus membiarkan keadaan tetap seperti ini. Aku masih teringat kata-kata Feri. apakah kau akan tetap menyimpan wajah masammu itu? Aku tak ingin semua jadi seperti ini. Sang fajar mulai naik. Embun yang menetesi jemariku, menemaniku menangis pagi ini.
Setelah sarapan, aku pamit dengna orang tuaku dan segera berangkat kesekolah. Mereka sepertinya sangat ramah denganku hari ini.
“Hari ini mau makan dimana Mad?” Tanya ibuku sambil tersenyum.
            “ hah? Ibu ini bicara apa? Daripada makan diluar aku lebih suka masakan ibu kok.”

Ayah dan Ibuku hanya tersenyum. Aku memang seorang anak bungsu, umurku terpaut jauh dari tiga orang kakakku. 3 orang kakakku telah menyelesaikan kuliah dan sekarang sudah bekerja semua. Sedangkan aku masih kelas X Sekolah Menengah Atas.

            “Kakak mungkin nanti pulang agak sore? Minta dibelikan sesuatu tidak? “ pekik kakakku.
“terserah saja kak, eskrim Magnum juga boleh, hahaha”.

            Entah mengapa mereka berbeda sekali hari ini, aku hanya berharap keadaan dirumah sama dengan keadaan disekolah.
            Perasaanku masih campur aduk seperti gado-gado harga 5000 dipasar. Aku mengharapkan kata-kata yang diucapkan Feri adalah fakta. Bukan hanya bualan yang ia dapat dari novel remaja, atau buku karangan seorang psikolog. Aku memarkirkan motorku, meletakkan kuncinya didalam tas. Dan segera menuju kekelas. Kulihat teman-teman sudah banyak yang datang. Aku menyapa, namun tiada satupun dari mereka yang peduli. Mereka menyisakanku bangku kosong untukku ditempat paling belakang. Aku hanya duduk sendiri, entah mengapa aku merasa kebahagiaan benar-benar terampas dari hidupku. Apakah aku sudah terlalui jauh dalam mengkhianati hidup. Aku tersadar bahwa kata-kata yang diucapkan Feri senja kemarin ada benarnya. Sudah kuduga, suasana antara dirumahku dengan dikelas bak langit dan bumi. Terlalu jauh berbeda. Lamunanku terbuyar ketika Sally, datang menghampiriku.

            “Kamu dipanggil Pak Alhadi keruangan guru sekarang”.

            Hanya begitu saja, ekspresinya datar. Kulihat dari wajahnya. Dia seperti ingin muntah saat menatapku. Aku bilang terimakasih kepadanya, namun dia tak menghiraukan. Aku langsung bergegas menuju keruang guru. Sampai disana, lagi dan lagi. Aku harus kembali bersabar.

            “Kenapa kamu kemarin tidak datang gotong-royong?” Tanya Pak Alhadi ketusp padaku.
“Go,,gotong-royong? Maksud bapak?”
“ya, gotong-royong, kenapa kamu tidak datang kemarin?”
“saya tidak mengerti pak. Saya sama sekali tidak mengetahui bahwa kemarin itu ada gotong-royong.”
“Ketua kelas seperti apa kamu?!! Seharusnya kamu itu paling tahu. Tapi kamu malah paling tidak disiplin. Teman-temanmu kemarin sore bekerja keras, sementara kamu enak-enakan bersantai dirumah.”

            Aku benar-benar dipermalukan ditengah guru-guru yang lain. Semua pandangan kini tertuju padaku. Aku dibentak habis-habisan oleh pak Alhadi.

            “Tapi pak, saya benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai…”
“Tidak usah banyak cing-cong kamu. Badan saja yang besar. Tidak ada gunanya kamu sebagai ketua-kelas. Jangan salahkan saya jika suatu saat kamu akan terdepak dari kelas X.1.”

             Aku kena skak, telak, hati dibacok, dikeroyok, dienyak-enyakkan, dipatahkan, dihancurkan, disayat. Habis sudah nasibku hari ini. Setelah itu aku segera kembali kekelas. Dan lagi, rasanya aku benar-benar ingin berteriak sekencang-kencangnya. Hatiku sudah tak tahan lagi. Kelas yang tadi kutempati bersama teman-temanku kosong. Semuanya Raib. Termasuk tasku juga mereka bawa. Aku benar-benar bingung. Nafasku mendengus-dengus, menahan tangis, amarah, sungguh tak kuat. Ingin rasanya aku meninju hidung Feri sialan itu. Kata-katanya tidak ada gunanya sama sekali. Tidak membantuku.
Aku termenung sendiri kelas. Aku benar-benar kesal. Aku memutuskan untuk keluar mencari mereka. Aku mencoba mencari keruang geografi. Dan sialnya, kenapa pula motorku sudah terpampang didepan ruang geografi. Aku yakin ini pasti ulah mereka, yang dipimpin oleh Uki, si wakil kertua kelas. Aku segera berlari menghampiri motorku. Ketika aku hendak menyentuhnya, aku merasa ada sesuatu sedang menuju kearahku. Dan

“CPLAKKK”

            Sesuatu mengenai kepalaku, baunya agak amis. Kupegang ini seperti lendir. Aku serasa ingin muntah. Aku melihat kebalakang, tapi ketika aku berpaling. Satu kelas mengeroyokku.

            “Cplak.. cplak,, cplak,,”

            Habis tubuhku, mereka menghajarku dengan benda yang sama dengan yang melemparku. Kemudian mereka menjauhiku. Ketika aku melihat kedepan.

            “Brushh..”

            Apalagi ini, seperti tepung, habis sudah wajahku. Kulihat kebawah ada banyak cangkang telur berhamburan. Kemudian mereka bertepuk tangan sambil tersenyum, kemudian Diva datang mendekatiku sambil memegang sebuah benda berwarna coklat kehitaman, ada angka 15 diatasnya seperti lilin. Mulutnya ternganga seperti ingin mengucapkan sesuatu.

            “Selamat ulang tahun ya Mad” ucapnya bersemangat.

            Yang lain kemudian menyalamiku. Dan mengucapkan selamat semua. Aku benar-benar terkejut. Aku sama sekali tidak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku benar-benar lupa karena terus memikirkan bersama mereka. Kulihat pak Alhadi juga ikut berbaur. Ternyata beliau juga mengikuti rencana surprise teman-teman. Dari sini aku sadar kenapa tadi pagi semua keluargaku tampak ramah. Kami kembali merangkul tangan masing-masing. Dan telah membuktikan bahwa kata-kata Feri benar. Dalam canda kami terdengar riuh angin ikut berbaur, daun-daun mengibaskan tubuhnya, ada yang lepas dari tangkainya dan ikut berbaur bersama kami. Awan-awan bergerak menutupi sedikit senar mentari, sehingga siang itu menjadi teduh. Tawa, canda kami siang itu, bersahabat dengan angin yang lebih akrab daripada angin senja.

            Hidup, tak selamanya seperti madu, dia juga akan terasa pahit, obat yang pahit yang kemudian mengobati sikap kita untuk selanjutnya menyikapi hidup lebih baik dimasa depan, meninggalkan masa lalu dan menjadikannya cermin untuk intropeksi diri dimasa depan. Itulah makna perjalanan hidup.

            Dan kini kubiarkan masa lalu menghilang
            Tanpa beban aku meninggalkan belakang

            Lalu kubiarkan masa lalu menghilang
            Tanpa beban aku menginggalkan belakang.   

0 komentar:

Posting Komentar